BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dewasa ini, kita tahu bahwa hukum
Islam adalah sistem hukum yang bersumber dari wahyu agama, sehingga istilah
hukum Islam mencerminkan konsep yang jauh
berbeda jika dibandingkan dengan konsep, sifat dan fungsi hukum biasa. Seperti lazim diartikan agama adalah
suasana spiritual dari kemanusiaan yang lebih tinggi dan tidak bisa disamakan
dengan hukum.Sebab hukum dalam pengertian biasa hanya menyangkut soal keduniaan
semata.Sedangkan Joseph Schacht mengartikan hukum Islam sebagai totalitas
perintah Allah yang mengatur kehidupan umat Islam dalam keseluruhan aspek
menyangkut penyembahan dan ritual, politik dan hukum.
Pada Umumnya
sumber hukum islam ada dua, yaitu: Al-Qur’an dan Hadist, namun ada juga yang
disebut Ijtihad sebagai sumber hukum yang ketiga berfungsi untuk menetapkan
suatu hukum yang tidak secara jelas ditetapkan dalam Al-Qur’an maupun Hadist.
Namun demikian, tidak boleh bertentangan dengan isi kandungan Al-Quran dan
Hadis.
Rumusan masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka perumusan masalah
dalam makalah
ini adalah sebagai berikut :
1) Apa pengertian
ijtihad?
2) Apa metode-metode
pengambilan hukum Islamt?
3) Apa saja
fungsi hukum Islam dalam kehidupan masyarakat?
Tujuan
1)
Mengetahui yang dimaksud ijtihad.
2)
Mengetahui metode-metode
pengambilan hukum Islam.
3)
Mengetahui fungsi hukum Islam
dalam kehidupan masyarakat.
Manfaat
1)
Pembaca dapat mengetahui maksud
ijtihad.
2)
Pembaca dapat mengetahui metode-metode
pengambilan hukum Islam.
3)
Pembaca dapat mengetahui fungsi hukum
Islam dalam kehidupan masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
IJTIHAD
Pengertian Ijtihad
Kata Ijtihad berasal dari kata Ijtahada-yajtahidu-ijtihādan yang berarti mengerahkan segala
kemampuan untuk menanggung beban. Menurut bahasa, ijtihad artinya
bersungguh-sungguh dalm mencurahkan pikiran. Menurut istilah, ijtihad adalah
mencurahkan segenap tenaga dan pikiran secara bersungguh-sungguh untuk
menetapkan suatu hukum. Oleh karena itu, tidak disebut ijtihad
apabila tidak ada unsur kesulitan di dalam suatu pekerjaan. Secara
terminologis, berijtihad berarti mencurahkan segenap kemampuan untuk mencari
syariat melalui metode tertentu.
B. Metode-Metode
Pengambilan Hukum Islam
Beberapa metode pengambilan
hukum Islam adalah Ijma’ dan Qiyas, Istihsan, Al- Maslahat, Al- Mursalat atau
Istihlah, Saddu Al- Zari’at.
1.
Ijma’ dan Qiyas
a. Ijma'
Ijmā
adalah kesepakatan para ulama mujtahid dalam memutuskan suatu perkara atau
hukum. Ijmā dilakukan untuk merumuskan suatu hukum yang tidak disebutkan secara
khusus dalam kitab Al-Qur’an dan sunah.
Contoh Ijma’:
- Menjadikan sunnah sebagai salah satu
sumber hukum Islam.
- Pengumpulan dan pembukuan Al-qur’an
sejak pemerintahan Abu Bakar tetapi idenya berasal dari Umar bin Khatab
-
Penetapan awal ramadhan dan syawal berdasarkan ru’yatul hilal.
b. Qiyas
Qiyas adalah mempersamakan hukum suatu masalah yang
belum ada kedudukan hukumnya dengan masalah lama yang pernah ada karena alasan
yang sama.
Contoh Qiyas :
-
Setiap minuman yang memabukan
contohnya mensen, sabu-sabu dan lain-lain disamakan dengan khamar,
ilatnya sama-sama memabukan.
-
Harta anak wajib dikeluarkan
zakat disamakan dengan harta dewasa. Menurut syafei karena sama-sama dapat
tumbuh dan berkembang, dan dapat menolong fakir miskin.
-
Mengatakan telmi kepada ortu
disamakan dengan membentak dan ah, karena ilatnya sama-sama menyakiti dengan
ucapan.
2. Istihsan
Menurut bahasa, istihsan berarti menganggap baik atau
mencari yang baik. Menurut ulama ushul
fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan kepada hukum yang
lainnya, pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil
syara'.
Jadi singkatnya, istihsan adalah tindakan meninggalkan satu
hukum kepada hukum lainnya disebabkan karena ada suatu dalil syara' yang
mengharuskan untuk meninggalkannya.
Misal yang paling sering dikemukakan adalah
peristiwa ditinggalkannya hukum potong tangan bagi pencuri di zaman khalifah
Umar bin Al-Khattab ra. Padahal seharusnya pencuri harus dipotong tangannya. Itu
adalah suatu hukum asal. Namun kemudian hukum ini ditinggalkan kepada hukum
lainnya, berupa tidak memotong tangan pencuri. Ini adalah hukum berikutnya,
dengan suatu dalil tertentu yang menguatkannya.
Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan
hukumnya berdasar nash, yaitu pencuri harus dipotong tangannya. Kemudian
ditemukan nash yang lain yang mengharuskan untuk meninggalkan hukum dari
peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan itu, pindah kepada hukum lain.
Dalam hal ini, sekalipun dalil pertama dianggap kuat, tetapi kepentingan
menghendaki perpindahan hukum itu.
Contoh
Istihsan :
-
Menurut Madzhab Hanafi: sisa minuman burung
buas, seperti sisa burung elang burung gagak dan sebagainya adalah suci dan
halal diminum. Hal ini ditetapkan dengan istihsan. Menurut qiyas jali sisa
minuman binatang buas, seperti anjing dan burung-burung buas adalah haram
diminum karena sisa minuman yang telah bercampur dengan air liur binatang itu
diqiyaskan kepada dagingnya. Binatang buas itu langsung Minum dengan mulutnya,
sehingga air liurnya masuk ke tempat minumnya. Menurut qiyas khafi bahwa burung
buas itu berbeda mulutnya dengan mulut binatang buas. Mulut binatang buas
terdiri dari daging yang haram dimakan, sedang mulut burung buas merupakan
paruh yang terdiri atas tulang atau zat tanduk dan tulang atau zat tanduk bukan
merupakan najis. Oleh karena itu sisa minum burung buas itu tidak bertemu
dengan dagingnya yang haram dimakan, demikian pula air liurnya. Dalam hal ini
keadaan yang tertentu yang ada pada burung buas yang membedakannya dengan
binatang buas. Berdasarkan keadaan inilah ditetapkan perpindahan dari qiyas
jali kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan.
3. Al Maslahat Al Mursalat
Merupakan metode
penetapan hukum yang kasus atau maslahatnya tidak dapat ditetapkan atau diatur
secara eksplisit di dalam Al-Qur’an dan hadist, dan tidak pula bertentangan
dengan keduanya.
Contoh
:
-
Dalam pelayaran dengan kapal
laut, dimana kapal demikian olengnya dan besar kemungkinan akan tenggelam jika
semua barang yan ada di dalamnya tidak dibuang ke laut. Dalam keadaan semacam
itu diperbolehkan membuang barang-barang ke laut, meskipun tidak seizin yang
empunya demi untuk kemaslahatan penumpang, yaitu menolak bahaya yang mengancam
keselamatan jiwa mereka.
4. Saddu
al-Zari’at
Saddu
al-Zari’at diartikan sebagai upaya mujtahid untuk menetapkan larangan terhadap
kasus hukum yang pada dasarnya mubah. Larangan itu berkesinambungan dimaksudkan
untuk menghindari perbuatan lain atau tindakan lain yang dilarang.
Ada
empat kategori Zari’at berdasarkan pada kemungkinan membawa dampak negatif,
yaitu :
1. Zari’at
yang pasti akan membawa manfaat, seperti menggali sumur di jalan umum yang
gelap terhadap zari’at semacam ini para ahli fiqih telah sepakat melarangnya.
2. Zari’at
yang jarang membawa mafsadat, seperti menanam
dan membudidayakan pohon anggur. Meskipun buah anggur ada kemungkinan
dibuat minuman keras, hal itu termasuk jarang. Karena itu, menurut ahli fiqih
menanam anggur tidak perlu dilarang.
3. Zari’at
yang berdasarkan hukum yang kuat akan membawa kepada mafsadat, seperti menjual
anggur kepada orang atau perusahaan yang biasa memproduksi minuman keras.
Zari’at ini harus dilarang.
4. Zari’at
yang seringkali membawa mafsadat, namun kekawatiran terjadinya tidak sampai
pada tingkat dugaan kuat, melainkan atas dasar asumsi biasa. Misalnya,
transaksi jual beli secara kredit. Diasumsikan dalam transaksi tersebut akan
membawa mafsadat terutama bagi debitur.
Mengenai zari’at ini para ahli ushul fiqh berbeda pendapat. Ada yang
berpendapat harus dilarang dan ada pula yang sebaliknya.
C.
FUNGSI
HUKUM ISLAM DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT
Sebagaimana sudah dikemukakan dalam
pembahasan ruang lingkup hukum Islam, bahwa ruang lingkup hukum Islam itu
sangat luas. Hukum Islam bukan hanya mengatur tentang hubungan manusia dengan
Tuhan, tetapi juga hubungan antara manusia dengan dirinya sendiri, manusia
dengan manusia lain dalam masyarakat, manusia dengan benda, dan antara manusia
dengan lingkungan hidupnya. Dalam Al Qur’an cukup banyak ayat-ayat yang terkait
dengan masalah pemenuhan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia serta
larangan bagi seorang muslim untuk melakukan pelanggaran hak asasi manusia.
Bagi tiap orang ada kewajiban untuk mentaati hukum yang terdapat dalam Al
Qur’an dan Hadits.
Peranan hukum Islam dalam
kehidupan bermasyarakat sebenarnya cukup banyak, tetapi dalam pembahasan ini
hanya akan dikemukakan peranan utamanya saja, yaitu :
a. Fungsi Ibadah
Fungsi
utama hukum Islam adalah untuk beribadah kepada Allah SWT. Hukum Islam adalah
ajaran Allah yang harus dipatuhi umat manusia, dan kepatuhannya merupakan
ibadah yang sekaligus juga merupakan indikasi keimanan seseorang.
b. Fungsi Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Hukum Islam sebagai hukum yang
ditunjukkan untuk mengatur hidup dan kehidupan umat manusia, jelas dalam
praktik akan selalu bersentuhan dengan masyarakat. Sebagai contoh, proses
pengharaman riba dan khamar, jelas menunjukkan adanya keterkaitan penetapan
hukum (Allah) dengan subyek dan obyek hukum (perbuatan mukallaf). Penetap
hukum tidak pernah mengubah atau memberikan toleransi dalam hal proses
pengharamannya. Riba atau khamar tidak diharamkan sekaligus, tetapi secara
bertahap. Ketika suatu hukum lahir, yang terpenting adalah bagaimana agar hukum
tersebut dipatuhi dan dilaksanakan dengan kesadaran penuh. Penetap hukum sangat
mengetahui bahwa cukup riskan kalau riba dan khamar diharamkan sekaligus bagi
masyarakat pecandu riba dan khamar. Berkaca dari episode dari pengharaman riba
dan khamar, akan tampak bahwa hukum Islam berfungsi sebagai salah satu sarana
pengendali sosial. Hukum Islam juga memperhatikan kondisi masyarakat agar hukum
tidak dilecehkan dan tali kendali terlepas. Secara langsung, akibat buruk riba dan
khamar memang hanya menimpa pelakunya. Namun secara tidak langsung,
lingkungannya ikut terancam bahaya tersebut. Oleh karena itu, kita dapat
memahami, fungsi kontrol yang dilakukan lewat tahapan pengharaman riba dan
khamar. Fungsi ini dapat disebut amar ma’ruf nahi munkar. Dari
fungsi inilah dapat dicapai tujuan hukum Islam, yakni mendatangkan kemaslahatan
dan menghindarkan kemudharatan, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
c. Fungsi Zawajir
Fungsi
ini terlihat dalam pengharaman membunuh dan berzina, yang disertai dengan
ancaman hukum atau sanksi hukum. Qishash, Diyat, ditetapkan untuk tindak
pidana terhadap jiwa/ badan, hudud untuk tindak pidana
tertentu (pencurian , perzinaan, qadhaf, hirabah, dan riddah),
dan ta’zir untuk tindak pidana selain kedua macam tindak
pidana tersebut. Adanya sanksi hukum mencerminkan fungsi hukum Islam sebagai
sarana pemaksa yang melindungi warga masyarakat dari segala bentuk ancaman
serta perbuatan yang membahayakan. Fungsi hukum Islam ini dapat dinamakan
dengan Zawajir.
d. Fungsi Tandhim wa Islah
al-Ummah
Fungsi hukum Islam selanjutnya
adalah sebagai sarana untuk mengatur sebaik mungkin dan memperlancar proses
interaksi sosial, sehingga terwujudlah masyarakat yang harmonis, aman, dan
sejahtera. Dalam hal-hal tertentu, hukum Islam menetapkan aturan yang cukup
rinci dan mendetail sebagaimana terlihat dalam hukum yang berkenaan dengan
masalah yang lain, yakni masalah muamalah, yang pada umumnya hukum Islam
dalam masalah ini hanya menetapkan aturan pokok dan nilai-nilai dasarnya.
Perinciannya diserahkan kepada para ahli dan pihak-pihak yang berkompeten pada
bidang masing-masing, dengan tetap memperhatikan dan berpegang teguh pada
aturan pokok dan nilai dasar tersebut. Fungsi ini disebut dengan Tanzim
wa ishlah al-ummah. Ke empat fungsi hukum Islam tersebut tidak dapat
dipilah-pilah begitu saja untuk bidang hukum tertentu, tetapi satu dengan yang
lain saling terkait. (Ibrahim Hosen, 1996 : 90).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ijtihad
adalah sebuah usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan berbagai
metode yang diterapkan beserta syarat-syarat yang telah ditentukan untuk
menggali dan mengetahui hukum Islam untuk kemudian diimplementasikan dalam
kehidupan bermasyarakat. Tujuan ijtihad dilakukan adalah upaya pemenuhan
kebutuhan akan hukum karena permasalahan manusia semakin hari semakin kompleks
di mana membutuhkan hukum Islam sebagai solusi terhadap problematika tersebut.
Jenis-jenis ijtihad adalah ijma’, qiyas, dan maslahah mursalah.
Saran
Demikian makalah ijtihad dalam mata kuliah yang tentunya
masih jauh dari kesempurnaan. Kami sadar bahwa ini merupakan proses dalam
menempuh pembelajaran, untuk itu kami mengharapkan kritik serta saran yang
membangun demi kesempurnaan hasil diskusi kami. Harapan kami semoga dapat
dijadikan suatu ilmu yang bermanfaat bagi kita semua. Amin!
DAFTAR
PUSTAKA
Djalil,
H. A. Basiq (2010). Ilmu Ushul Fiqih 1
dan 2. Jakarta: Kencana.
Ilmy,
Bachrul (2012). Pendidikan Agama Islam
untuk Kelas X SMK. Bandung: Grafindo Media Pratama.
Lismanto
(2012).Makalah tentang Ijtihad.From file:///E:/agama/Makalah%20Tentang%20Ijtihad.htm, 15 Oktober 2012.
syahruddinalga.blogspot.com/2011/10/fungsi-hukumislam-dalam-kehidupan.html
http:/khairajember.blogspot.com/2013/01/contoh-imagiyassaad-dzariahgaul.html
makasih ya ka ilmunya
BalasHapusijin sedot buat tugas
semangat terus ya bagi ilmunya :)